Gubuk Berkisah

Gubuk Berkisah

Memoar Sapu Patah: Refleksi Kehidupan Seorang Pandu

Ilustrasi seorang pandu. (Foto: National Postal Museum by Norman Rockwell).


Tidak ada masalah dengan masalah, yang jadi masalah adalah cara memandang suatu masalah. 

GUBUKERKISAH.MY.ID- Masalah kesehatan mental yang melanda generasi masa kini nampaknya semakin menjadi buah bibir. 

Khususnya Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010 itu memang lagi sering jadi bulan-bulanan celoteh para senior di lingkungannya. 

Ada yang bilang tak bisa kerja, kepengen serba instan, tukang gerutu, hingga kemanjaan yang dinilai sebagai penyebab "telo" nya mental Gen Z. 

Saya sendiri adalah bagian dari generasi tersebut. Alih-alih mengikuti tren itu, saya mencoba menolaknya. Saya tak mau menggenapi anggapan-anggapan miring itu. 

Lagipula kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan pada generasi apa, situasi bagaimana, bahkan dari ibu atau ayah siapa. 

Ya, sebagai pemuda yang lebih sering srawung dengan bapak-bapak daripada seumuran, saya sendiri juga tak luput dari bully-an seperti yang sudah disebutkan tadi. 

Beruntungnya sejak kecil, orang tua saya mendidik saya dengan cukup tegas. Saya cukup bersyukur, dilahirkan di keluarga harmonis yang sekalipun tak semua keinginan saya didukung, tetapi orang tua saya pada dasarnya tidak seratus persen membatasi gerak anak-anaknya. 

Tegas, keras, dan situasi yang kurang menguntungkan kerap terjadi sewaktu saya kecil. Dulunya saya pikir itu berlebihan. Tapi kini, pendidikan itu rupanya efektif. 

Ibu saya punya standar tinggi dalam setiap hal yang dilakukan, khususnya tanggung jawab (pada level ini sebenarnya bisa juga dikatakan perfeksionis). 

Bapak saya juga orang yang idealis, sosok yang belakangan memengaruhi sikap saya dalam memperjuangkan pandangan dan berpegang teguh pada nilai prinsip yang saya yakini. 

Latar belakang itulah yang menjadikan saya bisa bertahan hingga saat ini. 

Sebagai seorang pandu yang baru 14 tahun mengikuti organisasi berhasduk ini, banyak orang di sekeliling menilai jika didikan orang tua saya cukup berdampak. 

"Wah enak, kamu didukung ortu mu sehingga sejak kecil, kamu bisa terus konsisten ikut Pramuka sampai sekarang," ujar kawan saya. 

Saya hanya tersenyum tipis. Faktanya, orangtua saya pernah melarang keras saya untuk terus aktif di organisasi kepanduan ini. 

Semasa SMA, bisa dibilang separuh hari saya tidak berada di rumah. Masuk gerbang rumah setelah jam 20.00 adalah hal biasa kala itu. 

Bahkan pada hari libur, hampir seluruh konsentrasi saya arahkan dalam mengembangkan organisasi yang saya pimpin. 

Ayah saya cukup sering menggerutu dan melarang saya untuk terus menerus aktif di organisasi kepanduan yang sebenarnya juga sarang tikus ini. 

Ibu saya mendukung, tetapi kalau sudah berdampak ke masalah akademis, ibu saya adalah oposisi paling keras sekaligus demonstran yang tegas dalam menindak saya. 

Hehe, meski begitu saya tak berpikir itu adalah hambatan. Dalam perkara ini saya justru menganggap apa yang dilakukan kedua orangtua saya adalah suatu tantangan yang sengaja diberikan. 

Tak hanya itu, mereka sebenarnya menjalankan fungsi pengawasan yang baik, yang seyogyanya dilakukan orangtua pada anaknya yang lagi remaja. 

Beruntung saya bisa merasakannya, meski tak enak, saya bersyukur orangtua saya masih selalu ngomel di kala kawan yang lain bahkan tak punya siapapun untuk disapa di rumah. 

Kini, menjalani kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa sekaligus freelancer dan petugas organisasi, sudah tentu saya mengalami beragam masalah-masalah kehidupan. 

Anda pasti tahu, kalau saya kerap melontarkan protes keras ke pengurus "lembaga tepuk-tepuk" yang saya ikuti. Perjuangan melawan korupsi di tubuh Pramuka dan aktivitas KKN yang menjijikan itu memang sudah saya lakukan sejak 2017. 

Ayah saya, yang notabene adalah mantan aktivis 98 menyebut jika tindakan saya hanyalah perjuangan sia-sia. 

"Ngopo isih melu Pramuka nek pengurus e wae ora sadar lan ora gelem ngesuh omahe dewe. Raono keuntungan, isine dobos thok. Metuo wae no!," begitu ucapnya pada 2018 lalu dalam perdebatan malam hari dengan saya.

Saya memang kerap berdebat dengan ayah saya, namun konteksnya positif. Kami sering merokok dan minum kopi bersama di teras sembari mendiskusikan berbagai masalah ipoleksosbudhankam saat sore hari.

Tak berhenti, dengan keyakinan dan semangat pandu yang masih membara di hati, saya terus menjalankan apa yang telah menjadi prinsip. 

Tabu dan malu, melihat organisasi pendidikan non formal yang menawarkan pembentukan karakter tapi diisi oleh bajingan-bajingan birokrat yang punya habit bosok itu. 

Pada opini saya yang lalu, saya menganalogikan bahwa saat ini Pramuka tengah mengalami krisis kader. Bukan kader penerus bangsa (untuk hal ini banyak yang sudah terbukti), melainan kader yang mau merawat rumahnya sendiri alias organisasinya sendiri. 

Jabatan-jabatan teknis yang selayaknya diisi oleh orang-orang lapangan dengan "jam tempur" yang mumpuni, malahan diisi oleh kepala dinas yang bahkan tak punya pengalaman sekalipun di Pramuka. 

Belum lagi kegiatan-kegiatan "asal bapak senang" yang selalu menjurus ke arah formalitas belaka itu sungguh mengusik hati. 

Banyak kawan saya yang sama-sama kritis telah didepak keluar dan tak lagi dianggap. Orang-orang ini (termasuk saya) di cap oposisi cerewet yang tak tahu rumitnya birokrasi. 

Tapi biarlah, biarlah kami terus cangkeman, supaya berjalan fungsi pengawasan. Harapan kami sederhana, Pramuka kembali ke jati dirinya. 

Kawan dekat saya sering menanyakan mengapa saya masih bertahan di kubangan busuk organisasi ini. 

Saya hanya menjawabnya dengan mudah, bahwa ini juga menjadi tanggung jawab saya dalam menjalankan Tri Satya. Saya tidak mau pandu-pandu yang kini masih aktif di pangkalan menjadi tumpul karena kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada mereka. 

Pada akhirnya saya mengembangkan "gaya" membina saya sendiri. Melihat kurikulum Pramuka yang kurang menjawab tantangan jaman sekaligus terlalu jauh dari akar kepanduan. 

Layaknya seorang Sensei Karate yang masing-masing bahkan memiliki alirannya sendiri, saya juga menyusun gaya membina Pramuka saya sendiri. 

Tentunya itu dilakukan dengan riset. Meski masih jauh dari kata sempurna dan berada dalam tahap trial and error, saya optimis jika kepanduan dapat kembali seperti akarnya, maka para pandu akan sangat bermanfaat bagi sesama. 

Sekaligus, mengurangi anggapan-anggapan miring khususnya masalah Gen Z yang di cap generasi "telo" itu. 

Di tengah dinginnya malam dan terangnya rembulan. Angin menyapa dari lembahan Gunung Mongkrang serta tawa dan senyum para pandu yang masih terjaga, berakhirlah refleksi ini. Salam pandu!. 



 




Posting Komentar

0 Komentar