Gubuk Berkisah

Gubuk Berkisah

Burung Gereja dan Renungan Pandu Bujang, Senja Hari di Sanggar

Ilustrasi burung gereja. (Foto:pixabay.com)


Layaknya burung gereja yang homesick dengan susuh-nya, panggilan nurani itu kembali. 

GUBUKBERKISAH.MY.ID- Burung gereja berkicau berbalas ria di sela-sela internit jebol aula sanggar. Kepala menoleh menyimak suaranya yang ramai bagai rembugan serius. 

"Crett crettt trithitititititt crettt!," begitu suaranya (entahlah bagaimana saya harus menulisnya). 

Suaranya berderu terus sembari menemani saya menghisap tembakau murah didampingi kopi bikinan Mas Narso, bakul wedangan favorit teman-teman sanggar. 

Saya ikut hanyut menyimak obrolan dua burung gereja yang bersautan itu. Imajinasi saya menterjemahkan, kira-kira mereka mungkin sedang ngrasani rumah alias susuh mereka yang hilang akibat ranting pohon belimbing depan markas ditebang. 

Atau mungkin, mereka lagi kangen dengan rumah kecil yang pernah mereka bangun dan tinggali bersama dahulunya di pohon itu. 

Saya jadi teringat keputusan aneh yang akhirnya saya ambil sebagai alasan untuk menguatkan kembali niat hati saya di dunia relawan pertengahan tahun lalu. 

Muak dengan segala drama yang terjadi di komunitas hobi yang wagu itu, saya pun terpanggil untuk "pulang" menjadi relawan lagi. 

Sejak 2021 hingga pertengahan tahun lalu, saya kehilangan semangat dalam berkegiatan. Khususnya kegiatan sebagai potensi SAR alias relawan. 

Entahlah karena situasi yang tidak mengenakan ditambah hobi saya itu memang menyita banyak isi dompet saya, saya akhirnya memutuskan untuk menarik fokus saya kembali ke jalan semula. 

Hal itu ditandani dengan keterlibatan saya secara aktif selama 3 hari pada operasi penanganan banjir Solo awal tahun lalu. 

Saya yang sudah cukup lama tak "srawung" dengan kawan-kawan relawan, seakan merasakan kembali ke rumah. Beberapa orang memberi dukungan, sebagian lain menyambut dengan senyuman. 

"Waiki kumendan e terjun meneh!," ujar sejawat saya. 

Rasanya seperti di-recharge. Saya jadi punya rasa confident untuk take action lagi di lapangan bersama mereka.

Memang benar kata orang bijak, membantu orang itu sungguh menentramkan. Meski resiko yang dihadapi terbilang cukup berbahaya, namun kami (para relawan) dengan rasa ikhlas dan senang hati melakukannya. 

Suatu hal yang mungkin akan sulit dijelaskan pada orang awam adalah kami yang tak digaji atau bahkan mendapat honor sepeser pun. 

Bicara masalah uang, kami relawan umumnya tahu jika itu adalah hal tabu untuk dibahas. Lebih-lebih saat kondisi di lapangan. 

Meski ada pula yang cukup berani berperan sebagai "bajingan" yang tega nyuwil duit dan memanfaatkan para relawan. 

Rekan-rekan markas pun mendapat dukungan tambahan peralatan. Meski belum seberapa, peralatan yang diberikan itu cukup membuat moral juang pasukan bertambah. 

Saya tak mau menyia-nyiakan situasi ini. Di masa akhir jabatan saya sebagai pengurus Pramuka Peduli (yang akan habis 2025 nanti) saya ingin memberikan tindakan sekali lagi untuk memperkuat satuan pengabdian masyarakat andalan Pramuka Solo ini. 

Meninggalkan sebuah karya yang entah di kemudian hari akan lestari atau berhenti, namun setidaknya nama saya tak berhenti hanya sampai di surat SK saja. 

Alasan saya sederhana, saya manusia yang hidup, yang malu bila nama saya hanya jadi tempelan sekedar pengisi kolom di bagan organisasi. Seperti orang-orang wagu yang ditempel di struktur pengurus yang tak pernah sedikitpun terlihat batang hidungnya bagi markas. 

Orang bijak bilang jika kemewahan anak muda terletak pada idealismenya, maka inilah saatnya menyatakan idealisme saya bagi kemajuan organisasi kepanduan. 

Sesuatu yang entah di kemudian hari saat dewasa, saya tak bisa lagi "ngroweng" masalah prinsip karena mungkin terbungkam dengan realita.

Burung gereja pun terbang pergi, beriringan matahari bersembunyi. Purnama kembali memegang kendali, malam hari menyelimuti. 

Tak terasa kopi dan rokok sudah habis. Sudah saatnya berhenti berimajinasi, ayo sudah waktunya mandi. *** 


Posting Komentar

0 Komentar