Gubuk Berkisah

Gubuk Berkisah

Gunung Jokolangan : Awal Mula Rindu Angin Lembah dan Senyum Mentari di Puncak

Jalur menuju puncak Gunung Jokolangan. (Foto: dokumen pribadi)


GUBUKBERKISAH.MY.ID- Sebagai pekerja teks komersial alias tukang nulis, tentu saja mata yang tiap harinya "nyawang" layar datar ini perlu untuk diistirahatkan. 

Sudah waktunya untuk kembali ke hutan, menyegarkan mata dengan yang hijau-hijau tapi bukan seragam pak tentara. Kira-kira sejak tahun baru, hati yang gusar akan kebosanan rutinitas harian ini seperti meronta ingin bercerita ria menikmati alam bebas seperti dahulu kala. 

Gunung Jokolangan menjadi pilihan. Dataran tinggi yang masih masuk dalam gugusan pegunungan sekitar Gunung Lawu itu memang menyimpan kisah yang unik. 

Letaknya berada di sebelah selatan Gunung Lawu, tepatnya di Kecamatan Jatiyoso. Kira-kira awal tahun 2020 lalu, saya yang waktu itu masih berpostur tegap ala taruna dengan fisik nan prima pernah ikut operasi SAR di sekitar kaki Gunung Jokolangan. 

Sepertinya hati ini ingin bernostalgia, setelah 2 tahun lamanya sejak pandemi saya tak mendaki gunung. Tercatat hanya Mongkrang yang terakhir kali jadi gunung yang saya daki di awal 2022 lalu. 

Tak lama grup Whatsapp terbentuk. 5 orang jadi kandidat siap mendaki Jokolangan. Mendekati waktu pendakian 2 orang mundur. Tersisa bung Hafiz dan bang Jiwo. Keduanya adalah kawan saya di Pramuka Peduli, satuan punya Pramuka yang tugasnya ngurusi kebencanaan. 

Keduanya juga berasal dari SMA yang sama dengan saya, SMAN 2 Solo. Hafiz, sahabat karib dan sahabat utang saya sejak kelas 1 SMA. Ialah bank plecit saya di kala tanggal tua dan sering saya utangi untuk beli pulsa buat sekedar bales chat gebetan yang wuayune pol jaman SMA dulu (karo nostalgia sithik). Sedangkan bang Jiwo sendiri adalah senior saya di Dewan Ambalan SMA. Dia juga yang "memandikan" saya tengah malam waktu diksar Gunung Hutan sekitar tahun 2018 lalu di Sekipan, sebuah momen ter-nganyeli yang pernah saya lalui sebagai Pramuka. 

Sehari sebelum mendaki, tepatnya Jumat 16 Juni 2023 saya baru saja selesai mendampingi teman-teman Pramuka SMK Mikael berlatih di kawasan Tahura Karanganyar. Latihan tersebut juga diinisasi oleh adik kelas saya waktu SMA, Sandro, dan teman SMP saya Nathan. 

Percaya diri dengan fisik yang masih oke, Sabtu 17 Juni 2023 saya berangkat menuju Jokolangan bersama bang Jiwo. Sayang sekali, Hafiz gagal muncak karena adiknya masuk rumah sakit semalam. 

Motor bebek dipancal menuju Jatiyoso. Jalan kampung yang kadang halus kadang kasar itu kami libas kira-kira 1,5 jam dari Kota Solo. Ya, praktis saya hanya mendaki tandem dengan bang Jiwo. 

Sesampainya di lokasi, kami agak bingung mencari basecamp-nya sehingga harus bolak-balik bertanya warga. Singkat kata kami pun mendaftar di Kopi Jokolangan. 

MULAI MENDAKI

Kira-kira pukul  12 siang, akhirnya kami baru bergerak trekking menuju puncak. Jalur awalnya sangat landai. Terus terang enak sekali. Kalian bisa melihat hamparan perbukitan selatan Gunung Lawu dengan jelas dari trek awal. Tak lama, hutan pinus dengan tumbuhan kopi di bawahnya akan segera menyambut. Lalu lalang motor trail milik pak Perhutani juga masih kerab menyapa sepanjang perjalanan. 

Suara kicau berbagai macam aves (ben rodo ketok nek cah IPA), dan angin meniup pelan mewarnai perjalanan awal menuju puncak Jokolangan. Jokolangan atau yang lebh dikenal orang dengan nama Jobolarangan/Jogolarangan merupakan gunung yang memiliki ketinggian 2.300 mdpl. 

Bila melihat referensi di internet dan pengalamn teman-teman saya yang sudah pernah ke puncak, durasi perjalanan sekitar 4-5 jam dari basecamp. 

Saya pun PeDe bisa mencapai puncak sebelum magrib. Saya memang suka trekking siang hari. Selain karena terang dan jalan yang jelas terlihat di hadapan mata, saya dan kawan-kawan di Pramuka menganut sistem pergerakan dengan klausul "Ketika hari menuju gelap, berhenti bergerak, dirikan shelter" prinsip aman karena bergerak dalam gelap malam memiliki resiko yang lebih tinggi. 

MATA AIR 

Jalur menanjak sudah mulai terasa. Akar menonjol dan tanah yang kering karena lama tak turun hujan sudah menyambut kaki kami sejak awal melangkah. Tibalah kami di pos mata air. Sungguh melimpah!. Saya mungkin bisa mandi di tempat ini. Kami mengisi seliter air untuk sangu naik ke pos 1. 

Selepas mengusap wajah dengan air segar kaki gunung, langkah kami membawa ke jalur yang lebih menanjak menuju pos 1. Pundak dan pinggang sudha sedikit reot, tatkala melihat jalur tanjakan yang semakin maju semakin menanjak. 2.300 mdpl bukanlah ketinggian untuk disepelekan!. (BERSAMBUNG).



Posting Komentar

0 Komentar