Pahami Aturan Main Sebelum Masuk Rumah (Sebuah Kisah Pengabdi Organisasi)
GUBUKBERKISAH.MY.ID- Mengikuti komunitas atau organisasi apa pun itu tentu saja memiliki aturan yang mengikat bagi seluruh anggotanya. Terlepas formal atau tidaknya sebuah perkumpulan, pasti ada hal yang disepakati sebagai "aturan main" bersama.
Katakanlah yang paling sederhana adalah keluarga. Tentu saja tidak ada UUD se-resmi negara di dalam sebuah keluarga dalam menjalankan rumah tangganya. Mana mungkin bapak berperan sebagai MPR yang mengesahkan, ibu sebagai DPR yang mengusulkan lalu anak-anaknya sebagai rakyat terima mengindahkan aturan?. Ha ha, itu hanya pemisalan saya sekaligus bercanda saja.
Tapi yang jelas di setiap komunitas tentu terdapat aturan untuk mengatur kehidupan di dalamnya. Sering kali, berjalannya waktu, ada saja anggota dalam komunitas tersebut yang mulai tidak atau kurang sepaham dengan aturan yang awalnya telah disepakati bersama.
Wajar saja, seiring dengan perkembangan komunitas, tentu akan ada kebutuhan baru dan situasi kondisi yang berbeda dari mulanya. Revisi dan amandemen bisa jadi solusi awal. Meski kemudian pada pelaksanaannya terdapat banyak dinamika untuk mewujudkannya.
Bila anggota merasa relevan dan setuju mungkin saja opsi itu bisa terjadi, namun bagaimana bila terjadi kondisi khusus yang menyebabkan dinamika pelik dalam tubuh organisasi? Umumnya akan terjadi protes, dan pahitnya berujung pengunduran diri oleh anggota.
Dinamika tersebut bukan hal baru dalam kehidupan berorganisasi. Terus terang selama 12 tahun berada di organisasi kepanduan membuat saya terbiasa dengan siklus keluar-masuknya anggota. Harus dipahami bahwa setiap manusia memiliki motif yang bermacam-macam saat masuk ke dalam sebuah komunitas.
Motif tersebut bisa sangat beragam, ada yang sekedar ingin cari kawan, mencari peruntungan, rekreasi atau lain-lain. Apa pun motifnya, mulanya akan cenderung setuju dan bersemangat saat bergabung dengan komunitas barunya.
Bila nanti tak lagi sejalan dengan motif awal dan visi pribadinya, orang akan cenderung berpaling dan mencari wadah lain yang dapat menyalurkan motif tersebut.
Sering ditemui pengurus komunitas yang gagap, sehingga pengunduran diri anggota kerap berkesan negatif. Berserikat adalah hak, begitu pula dengan mengundurkan diri atau keluar. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Setiap individu yang mengundurkan diri juga harus memahami, bahwa setiap hak yang didapatkan manusia tentu memiliki konsekuensi kewajiban di belakangnya. Dalam buku berjudul Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses (2019) ciptaan Kasdin Sihotang, menyebut bahwa kewajiban merupakan hal yang harus dilakukan sebagai bagian dari tuntutan untuk mendapatkan hal yang diinginkan (hak). Maka menyelesaikan tugas atau kewajiban yang belum usai di komunitas sebelumnya tetap harus dituntaskan.
Saya bisa jadi adalah orang yang biasa saja dalam menanggapi adanya siklus keluar-masuk anggota. Momentum seperti itu seperti sudah biasa terjadi di organisasi saya (kepanduan).
Satu hal yang selalu saya ingatkan ke rekan-rekan sejawat agar tidak perlu menyesalinya atau bahkan membenci anggota yang mengundurkan diri. Lagi pula, pilihan, motif, dan visi orang dalam mengikuti suatu organisasi berbeda-beda. Tugas kita hanya menjadi wadah dengan tujuan seperti yang telah ditentukan. Bilamana tidak lagi sejalan dan merasa wadah lain lebih cocok untuk motifnya, tak salah mengambil keputusan untuk mundur.
Saya selalu menganggap mundurnya individu dalam sebuah komunitas adalah sikap keorganisasian. Bukan merupakan sikap karakter pribadi. Artinya, pengunduran diri tidak berarti memutus hubungan pertemanan, hanya saja memutus keterikatan dalam sebuah organisasi. ***
Post a Comment